Kamis, 23 Agustus 2012

Jendela Rumah Sakit


Namaku Rachel. Usiaku 15 tahun. Sedah hampir satu bulan ini aku terbaring dirumah sakit. Kondisiku membatasi kegiatanku. Aku harus Bed Rest total ditempat tidurku. Aku tak mungkin untuk berdiri maupun berjalan, sekadar untuk duduk tegak pun tidak. Hanya saja dalam beberapa waktu tubuhku boleh disandarkan dengan mengganjalkan beberapa bantal dipunggungku. Itupun tidak dalam keadaan duduk yang sempurna. Sudah sejak dilahirkan aku memiliki jantung yang tidak sempurna. Selama aku hidup, tak pernah sekalipun dapat bermain lepas, berlari seperti temanku ataupun terlalu capek. Semua itu akan mempercepat kerja jantungku dan menyebabkan komplikasi yang dapat membahayakan nyawaku, hidupku. Setiap hari aku juga harus minum obat. Aku tak hapal betul sudah berapa ribu pil yang telah kutelan hanya untuk sekadar mempertahankan hidupku. Tapi aku beruntung masih dapat menikmati kehidupan layaknya orang sehat lainnya. Aku masih bisa bersekolah disekolah umum layaknya anak normal seusiaku. Hingga aku memaksakan semua kegiatan keras itu. Aku jatuh pingsan seketika dan harus tidur di rumah Sakit ini dalam waktu lama. Kondisiku harus selalu dipantau.
                                                                                                                
Aku merasakan kebosanan disini. Sudah hampir 1 bulan aku sendiri diruangan ini, tanpa teman. Hingga datanglah seorang gadis kecil. Sepertinya dia juga pasien khusus, sama sepertiku.
“Hai!” Sapaku
“Hai!” Gadis itu tersenyum
“Panggil aku Kak Rachel. Nama kamu siapa?”
“Aku Kiky kak. Salam kenal”
“Iya. Memangnya kamu sakit apa?”
“Aku mengidap kanker. Sepertinya aku harus menghabiskan sisa umurku disini. Sudah stadium akhir. Kecuali bila Tuhan memberi keajaiban. Kalo Kakak sakit apa?”
“Aku kena kerapuhan jaringan jantung Ky. Sepertinya kita akan melewati banyak waktu bersama disini.”
“Semoga bisa menjadi sesama pasien yang bersahabat ya Kak”

Itulah singkat cerita perkenalanku dengan Kiky. Gadis mungil 10 tahun yang harapan hidupnya tinggah menghitung waktu. Meski kami sama-sama harus melewati sisa hidu dengan sedikit aktivitas, tapi kami punya seegudang cerita saat pernah didunia luar. Kami saling berbagi cerita ketika sore hari.

Tempat tidur Kiky tepat berada didekat jendela. Berbeda denganku, Kiky masih disanggupkan untuk duduk meski hanya ditempat tidurnya. Paling tidak kondisi tubuhnya masih sanggup untuk duduk tegak. Suatu sore aku merasakan kejenuhan dengan cerita keseharianku selama didunia bebas dulu. Tapi si mungil Kiky tak pernah kehilangan akal untuk menghiburku. Dia melongok keluar jendela sambil tersenyum riang. Aku begitu penasaran dengan hal yang membuatnya bahagia. Aku menanyakan perihal yang membuat Kiky tampak girang. Dan dia mulai bercerita kepadaku tentang yang dia lihat dari jendela Rumah Sakit setiap sore.

“Diluar jendela sana ada sebuah kolam yang indah. Ada air mancur, ikan dengan warna-warna cantikpun berenang tenang. Ditepi kolam ada hamparan kecil tanah berumput hijau yang menyejukkan mata.  Bunga bermahkota cerahpun ikut menghiasi taman. Beberapa penjaga taman membersihkan daun dan ranting kering agar taman tetap rapi. Dia juga memotong beberapa tangkai bunga segar yang indah untuk ditaruh didalam vas bunga. Sungguh sore yang indah dengan sinar senja jingga yang hangat.”

Begitulah yang selalu dilakukan Kiky untukku setiap sore. Aku tak erasa bosan ataupun sepi lagi. Walau aku tak dapat menyaksikan secara langsung yang tampak diluar sana, tapi aku dapat membayangkan dan melihat semua dari bibir dan mata Kiky. Serasa ada semangat baru dalam hidupku. Aku senang dengan kehadiran Kiky diruanganku.

Hingga disuatu malam, keadaan Kiky memburuk secara tiba-tiba. Kudengar tangisan kecil dari ibu Mama Kiky. Malam itu juga brankar Kiky dipindahkan keruang lain. Aku berharap keadaannya segera membaik dan dapat segera kembali keruangan ini. Beberapa hari kutunggu kedatangan Kiky kembali keruangan ini. Merasa tak sabar kutanyakan semuanya pada perawat yang selalu merawat diruanganku. Terasa disambar petir kepalaku ketika mendengar kabar bahwa Kiky telah meninggal dua hari yang lalu. Tubuhku melemah seketika. Mulutku terkunci.

Menjelang sore aku merasakan kesepian seperti sebelum Kiky datang ke ruangan ini. Biasanya, sebentar lagi Kiky selalu bersiap bercerita tentang kehidupan bebas diluar jendela sana dengan riangnya. Kupandang tempat tidur yang dulu ditempati Kiky. Uhh.......sepi.

Esok siang aku meminta kepada perawat untuk memindahkanku pada tempat tidur dekat jendela itu. Awalnya perawat acuh. Tapi setelah aku memohon, akhirnya aku dipindahkan dengan seijin Mama dan Papa. Sore hari yang kutunggu akhirnya datang juga. Pukul 4 sore, waktu bercerita yang selalu dipilih Kiky untuk memulai ceritanya. Aku meminta paksa perawat untuk memposisikanku duduk. Ancamanpun aku andalkan. “Suster, kalo aku gak boleh duduk sebentar saja, aku akan mogok minum obat selamanya.” Begitu kataku. Mau tak mau keinginanku dituruti. Aku kini telah senang karena sebentar lagi dapat melihat keindahan dunia luar dari balik jendela. Aku pun semakin tak sabar. Perlahan aku mendongakkan kepala keluar jendela. Terkejut jantungku dan kecewa seketika, ternyata yang terlihat diluar jendela hanyalah TEMBOK KOSONG.

Kupanggil perawat dan bertanya tentang Kiky yang dapat melihat pemandangan indah dari luar jendela. Perawat mengatakan bahwa Kiky sebenarnya buta. Kanker yang menyerangnya telah mengambil penglihatannya sejak 2 tahun lalu.

“Mungkin Kiky hanya ingin memberi kamu kegembiraan. Dia pernah berkata bahwa dia ingin membagi kebahagiaan semasa sisa hidupnya yang tinggal sebentar.” Begitu kata perawat yang langsung pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar