Aku pernah jatuh cinta.
Aku pernah mengagumi seseorang. Aku pernah mengenang dan menyimpan wajah-wajah
yang begitu indah. Tapi untuk saat ini, tak seorang pun.
Aku masih mengingatnya.
Ketika aku pertama jatuh cinta. Ketika pertama kali aku tertarik pada anak
laki-laki diawal masa pubertas ku. Dia sosok yang tampan, pendiam dan agamis.
Tatapan mata dan senyum simpel yang mampu meluluhkanku. Meski aku hanya bisa
mengaguminya saja, tanpa bisa mengungkapkan perasaanku. Dia pun tahu aku menyukainya,
hanya itu. Dan dia tak pernah mengatakan apapun. Bertahun-tahun kusimpan
perasaan ini. Kusimpan wajah manisnya, tatapan tajamnya, senyum simpelnya. Aku
masih nemar-benar mengharapkannya saat itu, dalam waktu lama. sempat aku
bertemu dengannya didunia maya, meski hanya obrolan biasa. Aku merasa senang
untuk pertama kali. Kukira ada kesempatan kecil disana. Tapi ternyata tidak.
Aku terlampau jauh berbeda dengannya. Seseorang yang aku kagumi sejak awal SMP,
harus berhenti kukenang saat akhir SMA. Aku sadar semua telah percuma. Aku
harus berhenti disini. Aku sadar diri. Selamat tinggal cinta pertamaku. Selamat
tinggal. Aku memang tak pernah ungkapkan semua kepada siapapun. Tak ada seorang
pun yang tahu tentang semua ini.
Bukan hanya cinta
pertamaku yang aku kagumi diawal masa pubertasku. Tapi ada sosok lain lagi. Aku
mengenalnya tepat satu tahun setelah mengenal cinta pertamaku. Dia sosok imut,
pintar, mandiri, tekun, lucu dan juga cuek. Setiap kali kuperhatikan dia. Aku
sempat bersapa beberapa waktu lamanya. Aku menikmati setiap obrolan tak
langsung dengannya. Ada rasa bahagia dan senyum setiap bersama media dengannya.
Meski dia hanya menganggapnya biasa. Aku juga menyimpan dia dimemoryku beberapa
waktu lamanya. Tapi harus kuakhiri saat aku mengetahui bahwa dia telah memilih
wanita yang menurutnya tepat untuknya. Aku harus mundur. Aku tak menyesali
semua. Ini bukan salah siapa-siapa. Aku tak pernah mengatakannya. Karena aku
wanita. Aku harus terima semua kenyataan ini. Aku tak pernah menangisi semua.
Jujur, tidak sama sekali.
Lalu, aku mengenal
seseorang yang pernah ada dalam kehidupan nyataku. Aku mengenalnya melalui
media maya. Awal pertama aku bersapa, dia sosok yang ceria, respect, humoris dan juga realistic. Aku mengaguminya
dalam masa berbulan-bulan. Awalnya aku tak yakin akan mendapatkan balasan
darinya. Ternyata dia mengungkapkan pula sesuatu yang aku tunggu selama ini.
Ternyata semua penantianku tak sia-sia, kekagumanku padanya terus berlanjut.
Aku menyayanginya sepenuh hatiku. Tiada hari tanpa kesedihan. Karena dia ada
sebagai semangatku. Memang dia tak pernah memberiku semangat. Tapi semangat itu
tumbuh dengan sendirinya ketika terbayang wajahnya. Tapi sayangnya, semua itu
hanya sementara. Singkat sekali. Sungguh sangat singkat. Dia menghilang dengan
tanpa alasan, meninggalkanku tanpa kata perpisahan. Aku tak paham dengan semua
ini. Semangatku meredup. Ditambah lagi realita pahit yang harus aku terima.
Inilah masa-masa sulitku. Yang tak pernah kuterima, kenapa dia pergi saat aku
benar-benar membutuhkannya. Ini benar-benar tak adil. Aku terjatuh dan terjatuh
lagi. Berkali-kali hingga aku hampir tak sanggup berdiri. Dengan sekuat tenaga
dan penuh paksaan aku mencoba bangkit. Tapi setiap aku ingin bangkit, beban
berat seakan bergelayut pada tubuhku. Ingin aku lupa ingatan, agar kenangan ini
tak membunuhku secara perlahan.
Lama aku tak dapat
bangkit. Hingga dia datang. Sosok biasa saja yang berusaha menuntunku untuk
berdiri perlahan. Meski aku sempat berkata menyerah, tapi dia tetap tak
berhenti untuk meyakinkanku tetap berusaha berdiri, walau dengan bantuannya.
Awalnya memang berat, tapi dia selalu setia merangkulkan lenganku dibahunya.
Dia memapah jalan ku. Aku tak merasa apa-apa saat itu. Mungkin aku telah mati
akan semua rasa bahagia. Hingga aku candu untuk butuh padanya. Hanya butuh.
Hanya ingin ketika kumembutuhkannya. Tapi dia melihat sisi yang menarik dari
diriku. Dia meminta hatiku, dengan syarat harus ikhlas. Tapi, demi Tuhan, aku
tak pernah memikirkan tentang semua itu. Kukira dia tulus tanpa meminta
balasan, apalagi meminta hatiku sebagai imbalannya. Jujur aku tak bisa. Tapi
aku tak bisa memaksakan semua keadaan. Tak ingin dia terjatuh karena
kebohonganku, kepura-puraanku. Mungkin aku benar-benar telah mati rasa oleh
semua keindahan semacam ini, yang menurut semua orang adalah kebahagian yang
paling lengkap.
Kini, memang semua
perasaan kosong. Tak ada lagi yang kurasa. Mati rasa. Dan tak seorang pun
tersimpan di memory ku. Tak seorang pun..........

Tidak ada komentar:
Posting Komentar