Minggu, 04 November 2012

Lelaki Hujan


Hujan turun begitu deras saat ini. Seakan bersorak atas kekalahanku. Atau justru mereka ikut menangis atas ketersakitanku. Apapun itu, aku tak peduli. Aku hanya bisa menyambut segala kehadirannya disini. Biar segala rasa melebur dan hanyut bersama air hujan yang terus mengalir membasahi tubuhku hingga kuyub. Dan disini, dilapang berubin ini, aku menangis bersama hujan. Entah mengapa hujan begini terhadapku. Saat airmataku hamper jatuh, dia langsung menggerimis. Dan ketika airmataku perlahan menderas, dia mengikuti dengan lebatnya. Aku hanya tetap berdiri ditempatku semula tanpa bergeser atau pun bergerak sedikitpun. Aku hanya semakin menunduk dengan pelan. Airmataku tak kuasa terbendung. Kesakitan yang dulu pernah kurasa kini kembali terulang. Mungkin aku salah pilih atau salah melangkah. Memang semua sudah terlanjur terjadi. Aku tak dapat menyalahkan keadaan. Ini buah atas kecerobohanku sendiri. Aku harus jatuh pada lubang yang sama. Aku tak dapat menahan lagi airmata yang tertumpah. Untuk apa juga aku menahan semua, akan aku luapkan semua disini, bersama hujan yang terus mengiringi. Bahkan bila begini,tak ada yang bisa membedakan mana airmata dan air hujan. Tiada orang yang tahu. Bahkan aku sendiri tak dapat membedakan. Kuarkan berlama disini, masih ditengah hujan yang turun. Biarkan saja airmataku habis sekalian. Bibirku terkatup sedari tadi. Agar tak ada seorangpun yang mendengar dan tahu. Biarlah aku dan hujan yang cukup tahu. Segala rintih kutahan agar tak keluar dari mulutku. Meski kenyataan sepi, tak ada seorangpun disini. Hanya aku yang terpaku sendiri disini bersama bisu tangisku.

Ditengah aku masih menangis entah sudah berapa lamanya, aku rasakan hujan berhenti, tapi hanya pada atas tubuhku saja. Kenapa harus berhenti sekarang. Bahkan airmataku belum usai mengalir. Hujan masih terdengar deras ditelingaku. Tapi tak kurasa airnya menetes mengguyur tubuhku. Mulai kuangkat wajah yang masih dikepalaku dengan pelan sambil kuusap air diwajahku dengan tanganku yang basah. Aku nampak bingung dan mencari. Didepanku tak terjadi apa-apa, kutengok kekiri dan kekanan. Tak kutemukan pula. Aku agak ragu untuk menengadah. Tapi akhirnya aku beranikan. Dan payung hitam mengembang diatas kepalaku. Aku lebih ragu lagi ketika muncul hasrat untuk menoleh kebelakang. Tapi tidak ada pilihan lagi. Antara berani, penasaran dan ragu kutolehkan kepalaku kebelakang juga. Kutemukan wajah sesosok pria dengan payung yang memayungi ku dari belakang. Mau tak mau harus kubalikkan tubuhku untuk menghadapnya. Wajahnya yang datar tanpa ekspresi memandangku. Sesimpul senyum tipis yang bahkan hampr tidak nampak seperti senyum menggeser bibirnya pelan. Mata merahku dan bening matanya bertemu. Ada sedikit rasa malu karena wajah sembab ku ini. Dengan pelan dia mengulurkan payung hitam yang sedari dipegangnya kearahku. Aku menangkap maksudnya. Kuterima payung itu dari tangannya. Senyum lebih lebar dia lemparkan dari bibirnya kearahku. Aku nampak bingung. Seketika dia balikkan badan untuk meninggalkanku setelah dia kembangkan satu lagi payung cadangan yang telah dia persiapkan untuk dirinya sendiri. Aku hanya memandang punggungnya ketika dia telah berlalu. Tanpa pernah mengenal, tanpa pernah bersapa dan berkata dia datang. Tanpa pernah ada apa-apa dia memberi payung hitam ini.

Akhirnya aku pulang dengan berpayung hitam ini. Sedikit aneh memang, saat aku pulang dengan membawa payung tapi tubuhku sudah terlanjur basah. Dalam langkah wajah lurusku yang datar aku tetap mengingat jalan pulangku. Tak peduli orang memandangku. Pikiranku masih terpaku pada pria tadi. Siapa dia sebenarnya? Kenapa perilakunya seperti itu? Apakah dia sesosok peri yang Tuhan kirimkan dalam waktu sesingkat itu? Ahhhhh….aku hanya terlalu kacau sehingga berpikir sekacau ini. Aku tak pernah mengenalnya. Aku juga tak pernah menemukannya lagi semenjak saat itu. Aku hanya menyebutnya sebagai lelaki hujan yang kebetulan menolongku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar