Hujan turun begitu deras saat ini. Seakan bersorak atas
kekalahanku. Atau justru mereka ikut menangis atas ketersakitanku. Apapun itu,
aku tak peduli. Aku hanya bisa menyambut segala kehadirannya disini. Biar
segala rasa melebur dan hanyut bersama air hujan yang terus mengalir membasahi
tubuhku hingga kuyub. Dan disini, dilapang berubin ini, aku menangis bersama
hujan. Entah mengapa hujan begini terhadapku. Saat airmataku hamper jatuh, dia
langsung menggerimis. Dan ketika airmataku perlahan menderas, dia mengikuti
dengan lebatnya. Aku hanya tetap berdiri ditempatku semula tanpa bergeser atau
pun bergerak sedikitpun. Aku hanya semakin menunduk dengan pelan. Airmataku tak
kuasa terbendung. Kesakitan yang dulu pernah kurasa kini kembali terulang.
Mungkin aku salah pilih atau salah melangkah. Memang semua sudah terlanjur
terjadi. Aku tak dapat menyalahkan keadaan. Ini buah atas kecerobohanku
sendiri. Aku harus jatuh pada lubang yang sama. Aku tak dapat menahan lagi
airmata yang tertumpah. Untuk apa juga aku menahan semua, akan aku luapkan
semua disini, bersama hujan yang terus mengiringi. Bahkan bila begini,tak ada
yang bisa membedakan mana airmata dan air hujan. Tiada orang yang tahu. Bahkan
aku sendiri tak dapat membedakan. Kuarkan berlama disini, masih ditengah hujan
yang turun. Biarkan saja airmataku habis sekalian. Bibirku terkatup sedari
tadi. Agar tak ada seorangpun yang mendengar dan tahu. Biarlah aku dan hujan
yang cukup tahu. Segala rintih kutahan agar tak keluar dari mulutku. Meski kenyataan
sepi, tak ada seorangpun disini. Hanya aku yang terpaku sendiri disini bersama
bisu tangisku.
Ditengah aku masih menangis entah sudah berapa lamanya, aku
rasakan hujan berhenti, tapi hanya pada atas tubuhku saja. Kenapa harus
berhenti sekarang. Bahkan airmataku belum usai mengalir. Hujan masih terdengar
deras ditelingaku. Tapi tak kurasa airnya menetes mengguyur tubuhku. Mulai
kuangkat wajah yang masih dikepalaku dengan pelan sambil kuusap air diwajahku
dengan tanganku yang basah. Aku nampak bingung dan mencari. Didepanku tak
terjadi apa-apa, kutengok kekiri dan kekanan. Tak kutemukan pula. Aku agak ragu
untuk menengadah. Tapi akhirnya aku beranikan. Dan payung hitam mengembang
diatas kepalaku. Aku lebih ragu lagi ketika muncul hasrat untuk menoleh kebelakang.
Tapi tidak ada pilihan lagi. Antara berani, penasaran dan ragu kutolehkan
kepalaku kebelakang juga. Kutemukan wajah sesosok pria dengan payung yang
memayungi ku dari belakang. Mau tak mau harus kubalikkan tubuhku untuk
menghadapnya. Wajahnya yang datar tanpa ekspresi memandangku. Sesimpul senyum
tipis yang bahkan hampr tidak nampak seperti senyum menggeser bibirnya pelan.
Mata merahku dan bening matanya bertemu. Ada sedikit rasa malu karena wajah
sembab ku ini. Dengan pelan dia mengulurkan payung hitam yang sedari
dipegangnya kearahku. Aku menangkap maksudnya. Kuterima payung itu dari
tangannya. Senyum lebih lebar dia lemparkan dari bibirnya kearahku. Aku nampak
bingung. Seketika dia balikkan badan untuk meninggalkanku setelah dia
kembangkan satu lagi payung cadangan yang telah dia persiapkan untuk dirinya
sendiri. Aku hanya memandang punggungnya ketika dia telah berlalu. Tanpa pernah
mengenal, tanpa pernah bersapa dan berkata dia datang. Tanpa pernah ada apa-apa
dia memberi payung hitam ini.
Akhirnya aku pulang dengan berpayung hitam ini. Sedikit aneh
memang, saat aku pulang dengan membawa payung tapi tubuhku sudah terlanjur
basah. Dalam langkah wajah lurusku yang datar aku tetap mengingat jalan
pulangku. Tak peduli orang memandangku. Pikiranku masih terpaku pada pria tadi.
Siapa dia sebenarnya? Kenapa perilakunya seperti itu? Apakah dia sesosok peri
yang Tuhan kirimkan dalam waktu sesingkat itu? Ahhhhh….aku hanya terlalu kacau
sehingga berpikir sekacau ini. Aku tak pernah mengenalnya. Aku juga tak pernah
menemukannya lagi semenjak saat itu. Aku hanya menyebutnya sebagai lelaki hujan
yang kebetulan menolongku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar