Kamis, 23 Agustus 2012

Teman Terbaik


Memang menyakitkan ketika seseorang yang kita cintai dengan sepenuh hati, tetapi dia tak pernah membalasnya, bahkan menyakiti kita. Tetapi lebih menyakitkan lagi ketika kita mencintai seseorang dengan sepenuh hati, namun tak dapat menemukan keberanian untuk mengungkapkan seluruh perasaan kita, sekadar mengungkapkan. Dan yang sangat menyakitkan adalah disaat seseorang mencintai kita dengan sepenuh hati, tapi kita tak pernah mengetahuinya. Dan lengkap sudah kesakitan kita ketika kita telah sadar dan mengetahui bahwa orang yang pernah mencintai kita, telah tiada. Kita tak pernah bisa membalas perasaan yang sama terhadapnya.

Sebuah hal yang menyedihkan adalah ketika kita bertemu dengan seseorang yang sangat berabti bagi kita. Kita selalu temukan kebahagiaan dan semangat disaat bersamanya. Kemudian pada akhirnya orang tersebu tidak ditakdirkan untuk bersama kita. Dengan berat hati kita harus menerima dan membiarkannya pergi.

Hari ini aku terduduk diam di ayunan yang sering menjadi tempatku bermain semasa kecil. Kembali mengingat kepergian wajah-wajah yang pernah singgah dihidupku. Kukenang masa kecil yang pernah terjadi. Beberapa tahun lalu, sebelum aku menginjak umur yang hampir matang sekarang ini. Masih ditempat ini juga, diayunan yang sedang kududuki. Meski beberapa kali telah diganti warna catnya karena warna yang lama telah mengelupas dan berkarat, namun ayunan dan posisi masih sama.

Kali itu, aku tengah duduk pada salah satu ayunan seorang diri. Kugenggam tangan Teddy Bear pada tangan kananku. Aku menangis. Aku tidak begitu ingat kenapa aku menangis saat itu. Namun tangisku tak begitu lama. Aku berlanjut dengan merenung. Renuangan yang lama. seorang anak perempuan datang dan bermain dengan ayunan disebelahku. Aku sempat menoleh kepada nya sesaat. Karena dia tampak asik dengan ayunannya, aku kembali merenung. Hingga dia menghentikan ayunannya. Kulirik dia yang sempat menengok kearahku beberapa kali. Aku heran pada suatu ketika dia memandang kearahku lama sekali. Aku mencoba tetap cuek. Tapi lama-kelamaan aku risih dengan yang dia lakukan. Aku menoleh kearahnya. Kamipun bertemu mata. Lama sekali. Sampai akhirnya dia memalingkan wajahnya lebih dahulu dan mengikutinya. 10 menit kemudian dia turun dari ayunannya dan pergi. Dia tak mengucapkan sepatah katapun dari mulutnya. Bahkan dengusan pun tidak, atau berdeham. Dan ketika perpisahan itu terjadi, aku merasa telah kehilangan percakapan yang menyenangkan bersamanya. Aku menyebutnya percakapan mimik dan perasaan. Tanpa bersuara.

Memang benar kata pepatah “Kita tidak akan pernah sadar dengan apa yang telah kita memilikinya hingga kita kehilangaan sebagian atau seluruhnya”. Tapi ada benarnya pula ketika kita tahu apa yang telah hilang hingga hal tersebut menghampiri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar